Antara Akal yang Sehat dan Nash yang Jelas
TIDAK ADA PERTENTANGAN ANTARA AKAL YANG SEHAT DAN NASH YANG JELAS
Oleh
Ustadz Ruslan Zuardi Elbagani, Lc.
Akal adalah salah satu nikmat agung yang Allâh Azza wa Jalla anugerahkan kepada manusia. Nikmat ini menunjukkan akan kesempurnaan kekuasaan Allâh Azza wa Jalla yang sangat menakjubkan.
Sungguh Islam tidak pernah menuntut manusia agar mematikan akalnya, lalu percaya begitu saja dengan semua keyakinan dan syarî’at yang diajarkan oleh Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, akan tetapi Islam sangat menghormati akal manusia dan menganjurkan untuk mengasah kemampuan berpikirnya. Oleh karena itu, dalam banyak ayat, Allâh Azza wa Jalla memberi semangat agar manusia menggunakan akalnya.
وَسَخَّرَ لَكُمُ الَّيْلَ وَالنَّهَارَۙ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ ۗوَالنُّجُوْمُ مُسَخَّرٰتٌۢ بِاَمْرِهٖ ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّعْقِلُوْنَۙ
Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allâh Azza wa Jalla ) bagi kaum yang memahami(nya) [an-Nahl/16:12]
وَفِى الْاَرْضِ قِطَعٌ مُّتَجٰوِرٰتٌ وَّجَنّٰتٌ مِّنْ اَعْنَابٍ وَّزَرْعٌ وَّنَخِيْلٌ صِنْوَانٌ وَّغَيْرُ صِنْوَانٍ يُّسْقٰى بِمَاۤءٍ وَّاحِدٍۙ وَّنُفَضِّلُ بَعْضَهَا عَلٰى بَعْضٍ فِى الْاُكُلِۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّعْقِلُوْنَ
Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebagian tanaman-tanaman itu atas sebagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allâh Azza wa Jalla ) bagi kaum yang berfikir. [ar-Ra’d/13:4]
Allâh Azza wa Jalla mencela orang yang tidak berakal seperti dalam firman-Nya :
وَقَالُوْا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ اَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِيْٓ اَصْحٰبِ السَّعِيْرِ
Dan mereka berkata, “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala’.” [al-Mulk/67:10]
Sebagaimana akal merupakan anugerah dari Allâh Azza wa Jalla , nash, baik itu al-Qur’ân maupun sunnah yang bisa dipelajari akal juga merupakan nikmat besar dari Allâh Azza wa Jalla yang dianugrahkan kepada umat manusia. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْاٰنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُّدَّكِرٍ
Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’ân untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran ? [al-Qamr/54:22]
Namun anugerah Allâh Azza wa Jalla tersebut (akal sehat) tidak menjadikannya tanpa kendali karena bagaimanapun hebatnya akal manusia tetaplah tidak sempurna. Karena kalau memang sempurna lantas untuk apa Allâh Azza wa Jalla mengutus para Nabi dan Rasul dan menurunkan kitab-kitabNya.
Tidak Ada Pertentangan antara Akal Sehat dan Nash yang Jelas (shorih)
Setelah kita mengetahui akal yang sehat adalah nikmat, demikianpula nash yang shahîh dan jelas (sharîh). Keduanya saling bertautan dan melengkapi. Akal yang sehat pasti akan sejalan dengan nash yang jelas, tidak ada pertentangan diantara keduanya. Nash mengarahkan agar akal terjaga, berkembang dan berpikir sebagaimana mestinya, sementara akal memahami, mencermati lalu menjalankan arahan tersebut..
Mengapa Ada Anggapan Bahwa Ada Nash yang Tidak sejalan akal, bahkan Bertentangan ?
Marilah kita bersama-sama menelaah permasalahan ini.
Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya menjadikan akal manusia berada dibawah syara’. Bilamana ada syarî’at yang jelas, maka akal harus tunduk menerimanya, meskipun akal tidak tahu hikmah, latar belakang serta tujuan dari penetapan syarî’at tersebut. Kemudian harus dipahami bahwa akal dilarang untuk terjun dalam hal-hal yang diluar jangkauannya seperti Dzat Allâh Azza wa Jalla , sifat-sifat-Nya dan perkara-perkara ghaib lainnya.[1]
Kewajiban akal untuk tunduk pada syarî’at, bukan berarti bahwa syarî’at Islam tidak selaras dengan akal. Namun karena akal yang sehat berasal dari Allâh Azza wa Jalla dan sumber syarî’at Islam yaitu al-Qur’ân dan as-sunnah juga datang dari Allâh Azza wa Jalla . Sesuatu yang berasal dari Allâh Azza wa Jalla tidak mungkin saling bertentangan. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللّٰهِ لَوَجَدُوْا فِيْهِ اخْتِلَافًا كَثِيْرًا
Seandainya al-Qur’ân ini datang dari selain Allâh Azza wa Jalla , maka akan terjadi banyak perselisihan [an-Nisâ’/4:82]
Akal sehat tidak mungkin bertentangan dengan nash yang jelas (sharîh) lagi shahîh. Jika zhahirnya bertentangan maka ada kemungkinan akal yang tidak beres atau nashnya yang tidak jelas atau tidak shahîh.
Adapun pemikiran-pemikiran yang muncul dari para ahli kalam, maka itu merupakan sebuah kekeliruan dan musibah. Mengapa demikian ? Karena pemikiran inilah yang memicu anggapan bahwa akal sehat bertentangan dengan nash yang jelas dan akallah yang selalu benar.
Diantara prinsip dalam kaidah ahli kalam, yaitu tatkala terjadi pertentangan antara akal dan wahyu maka akal mesti dikedepankan.[2]
Prinsip ini terang-terangan menolak sekian banyak nash jika sedikit saja nash itu dilihat menyelisihi akal. Para Ulama, dahulu maupun sekarang membantah dan meluruskan prinsip ini. Diantaranya, Ibnu Taimiyyah t . Beliau t dalam kitabnya Dar’u Ta’ârudh al-Aqli Wa an-Naqli, mengatakan, “Sesuatu yang diketahui dengan jelas oleh akal, sulit dibayangkan akan bertentangan dengan syarî’at sama sekali. Bahkan dalil naqli yang shahîh tidak akan bertentangan dengan akal yang lurus, sama sekali.
Saya telah memperhatikan hal itu pada kebanyakan hal yang diperselisihkan oleh orang. Saya dapati, sesuatu yang menyelisihi nash yang shahîh dan jelas adalah syubhat yang rusak yang bisa diketahui kebatilannya dengan akal, bahkan dengan akal (pula) dapat diketahui kebalikan dari syubhat tersebut (yaitu kebenaran yang-red) sesuai dengan syarî’at. Kita tahu bahwa para Rasul tidak mengabarkan sesuatu yang mustahil menurut akal tapi (terkadang) mengabarkan sesuatu yang membuat akal terkesima. Para Rasul itu tidak mengabarkan sesuatu yang diketahui oleh akal sebagai sesuatu yang tidak benar, namun (terkadang) akal tidak mampu untuk menjangkaunya.
Karena itu wajib bagi orang-orang Mu’tazilah yang menjadikan akal mereka sebagai hakim (yang memutuskan) terhadap nash-nash wahyu, demikian pula mereka yang sejalan dengan mereka serta meniti jejak mereka agar mengetahui bahwa tidak ada satu haditspun di muka bumi ini yang bertentangan dengan akal kecuali hadits itu lemah atau palsu. Wajib bagi mereka untuk menyelisishi kaidah kelompok Mu’tazilah, saat terjadi pertentangan antara akal dan syariat menurut mereka maka wajib untuk mengedepankan syariat. Karena akal telah membenarkan syariat dalam segala apa yang ia kabarkan sedang syariat tidak membenarkan segala apa yang dikabarkan oleh akal. Demikian pula kebenaran syariat tidak tergantung dengan semua yang dikabarkan oleh akal.”[3]
Kekeliruan pendapat ahli kalam itu juga diluruskan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Bâz rahimahullah. Beliau rahimahullah mengatakan, “Yang benar, kitab Allâh Azza wa Jalla dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahîh tidak mungkin bertentangan dengan realita yang benar-benar terjadi ataupun logika akal sehat yang jelas. Apabila didapati sesuatu yang sepertinya bertentangan maka wajib untuk diketahui bahwa hal itu tidaklah benar dan pasti ada yang salah. Kesalahan itu berasal dari keyakinan seseorang atau pemahaman yang buruk karena dia menganggap sesuatu yang tidak nyata sebagai sebuah kenyataan; Atau dia menganggap sebuah syubhat sebagai suatu yang logis menurut akal sehat; Atau dia mengira hadîts (yang dianggap bertentangan dengan akal sehat–red) itu shahîh padahal sebenarnya tidak shahîh; Atau mungkin dia salah dalam memahami kitab Allâh Azza wa Jalla dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahîh.
(seorang penyair mengatakan :-red)
Betapa banyak orang mencela ucapan yang benar
Sisi cacatnya adalah pemahaman yang salah.
Bukti dari semua ini banyak sekali, sebagaimana telah banyak diingatkan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah dan murid beliau Ibnu Qayyim rahimahullah dalam kitab-kitab mereka berdua.”[4]
Seandainya Ada Yang dianggap Bertentangan Dengan Akal Sehat, Apakah Yang Harus Dilakukan?
Menjawab pertanyaan ini, kita kembali kepada permasalahan sebelumnya. Pertentangan akal dengan syariat tidak akan pernah terjadi manakala nashnya shahîh dan jelas (sharîh) sementara akal yang menjadi tolok ukurnya juga sehat. Jika kita telah mengetahui suatu nash itu shahîh dan sharîh, namun masih terkesan ada pertentangan, maka bersegeralah mengintropeksi diri, mencurigai akal kita, lalu bertanya, masih sehatkah akal kita ? Sudah maksimalkah akal kita dalam usahanya memahami dan memaknai nash tersebut ?
Karena bisa jadi akal kita tidak memahami maksud nash yang kita pelajari tersebut atau akal kita belum mampu memahami masalah yang dibahas secara benar. Karena sudah bisa dipastikan, nash yang shahîh tersebut pasti benar. Untuk itu, dalam mempelajari sebuah nash, kita memerlukan bimbingan dan rujukan dari para Ulama yang telah membahas nash tersebut dengan baik dan benar.
Jika kita dihadapkan dengan permasalahan akal kita yang tidak sesuai dengan nash yang sedang kita tela’ah, sementara kita juga belum menemukan rujukan dari Ulama, maka ingat-ingatlah ajaran al-Qur’ân dan Sunnah yang mengharuskan kita untuk selalu kembali kepada dalil serta anjuran para sahabat yang bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyaksikan jalannya turunnya wahyu secara langsung.
Seperti beberapa perkataan Ulama berikut ini :
- Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Jika dalil naqli bertentangan dengan akal, maka yang diambil adalah dalil naqli yang shahîh dan akal itu dibuang dan ditaruh di bawah kaki, tempatkan di mana Allâh Azza wa Jalla meletakkannya dan menempatkan para pemiliknya.”[5]
- Dan perkataan bijak dari Abul Muzhaffar as-Sam’âni rahimahullah ketika menerangkan akidah Ahlus Sunnah. Beliau t berkata, “Adapun para pengikut kebenaran, mereka menjadikan al-Kitâb dan as-Sunnah sebagai panutan mereka dan mencari agama dari keduanya. Apa yang terbetik dalam akal dan benak, mereka hadapkan kepada al-Kitâb dan as-Sunnah. Kalau mereka dapati sesuai dengan keduanya, mereka terima dan bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla di mana Allâh Azza wa Jalla perlihatkan hal itu dan memberi mereka taufik-Nya. Tapi jika tidak sesuai dengan keduanya, maka mereka meninggalkannya dan mengambil al-Kitâb dan as-Sunnah kemudian menuduh akal mereka sebagai pihak yang bersalah. Karena sesungguhnya keduanya (al-Kitâb dan as-Sunnah) tidak akan memberikan petunjuk kecuali kepada yang hak sementara pendapat manusia kadang benar kadang salah.”[6]
Akibat Lebih Mengedepankan Akal daripada Nash
Perlu diketahui, lebih mengedepankan daripada nash akan menimbulkan bahaya dan dampak buruk yang berujung pada kesesatan pelakunya. Diantara bahaya yang selalu mengintai pelakunya :
- Terjangkiti penyakit sombong yang menyerupai sifat Iblis, ketika diperintahkan untuk sujud kepada Nabi Adam Alaihissallam, kemudian ia membangkang dan menentang dengan akalnya.
قَالَ مَا مَنَعَكَ اَلَّا تَسْجُدَ اِذْ اَمَرْتُكَ ۗقَالَ اَنَا۠ خَيْرٌ مِّنْهُۚ خَلَقْتَنِيْ مِنْ نَّارٍ وَّخَلَقْتَهٗ مِنْ طِيْنٍ
Allâh berfirman, ‘Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu ?’ Iblis menjawab, ‘Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah’ [al-A’râf/7:12]
Mereka sombong dan ujub, tidak menjadikan firman Allâh Azza wa Jalla yang menjelaskan tentang akibat kesombongan sebagai pedoman dan seakan tidak membutuhkan firman Allâh Azza wa Jalla berikut :
سَاَصْرِفُ عَنْ اٰيٰتِيَ الَّذِيْنَ يَتَكَبَّرُوْنَ فِى الْاَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّۗ وَاِنْ يَّرَوْا كُلَّ اٰيَةٍ لَّا يُؤْمِنُوْا بِهَاۚ وَاِنْ يَّرَوْا سَبِيْلَ الرُّشْدِ لَا يَتَّخِذُوْهُ سَبِيْلًاۚ وَاِنْ يَّرَوْا سَبِيْلَ الْغَيِّ يَتَّخِذُوْهُ سَبِيْلًاۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَا وَكَانُوْا عَنْهَا غٰفِلِيْنَ
Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya. dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya. yang demikian itu adalah Karena mereka mendustakan ayat-ayat kami dan mereka selalu lalai dari padanya [al-A’râf/7:146]
- Keengganan mengikuti serta menolak syarî’at adalah sifat yang menyerupai sifat orang kafir yang menolak keputusan Allâh Azza wa Jalla dengan akal mereka, seperti penentangan mereka terhadap kenabian Nabi Muhammad. Dengan sombong, mereka mengatakan :
وَقَالُوْا لَوْلَا نُزِّلَ هٰذَا الْقُرْاٰنُ عَلٰى رَجُلٍ مِّنَ الْقَرْيَتَيْنِ عَظِيْمٍ
Dan mereka berkata, ‘Mengapa al Qur’ân ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Makkah dan Thaif) ini ?’” [az-Zukhruf/43:31]
- Tidak mengikuti sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tidak merujuk kepadanya dalam perkara-perkara ketuhanan dan perkara syar’i lainnya. Lebih mengedepan akal daripada nash sama saja dengan menunjukkan sikap tidak membutuhkan Rasul bahkan menolak ajarannya n .
- Dengan mudahnya mengikuti hawa nafsu dan keinginan jiwa yang sesat karena sumber dari pengikutan hawa nafsu secara membabi buta adalah berasal dari akal yang tidak sehat. Ataupun karena tertipu, maksudnya jiwa cenderung mengikuti hawa nafsu dan hal yang disukai watak dasarnya, karena faktor syubhat dan tipuan dari syetan.
- Menyebabkan kerusakan di muka bumi. Point ini bisa kita kaitkan dengan poin keempat dimana jika akal lebih dikedepankan daripada nash, maka hawa nafsu akan merajalela, efek selanjutnya adalah akan terjadi kerusakan di muka bumi ini.
- Berkata dengan mengatasnamakan Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Ini merupakan tindakan sesat serta menyesatkan karena memahami dalil atau nash berdasarkan pemahaman akalnya yang dangkal semata tanpa merujuk pada pemahaman yang sebenarnya. Ini adalah perbuatan yang sangat keji dan larangan yang teramat besar.
Sesuai dengan firman Allâh Azza wa Jalla :
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُّجَادِلُ فِى اللّٰهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَّلَا هُدًى وَّلَا كِتٰبٍ مُّنِيْرٍ ۙ
Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allâh tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya. [al-Hajj/22:8]
Juga firman-Nya :
وَلَا تَقُوْلُوْا لِمَا تَصِفُ اَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هٰذَا حَلٰلٌ وَّهٰذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوْا عَلَى اللّٰهِ الْكَذِبَۗ اِنَّ الَّذِيْنَ يَفْتَرُوْنَ عَلَى اللّٰهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُوْنَۗ ١١٦ مَتَاعٌ قَلِيْلٌ ۖوَّلَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, “Ini halal dan ini haram,” untuk mengadakan kebohongan terhadap Allâh . Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allâh tiadalah beruntung. (itu adalah) kesenangan yang sedikit; dan bagi mereka adzab yang pedih. [an-Nahl/16:116-117]
Demikian pula dengan berkata atas nama Rasul dengan akal tanpa dasar ilmu,
عَنْ عَلِيٍّ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لا تَكْذِبُوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَلِجِ النَّارَ
Ali Radhiyallahu anhu mengatakan, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Janganlah engkau berdusta atas (nama) ku. Karena barangsiapa berdusta atas (nama)ku, maka hendaknya ia masuk neraka.” (HR. al-Bukhâri dan Muslim)[7]
Maksud dari jangan berdusta atas (nama)ku adalah jangan menisbatkan kedustakan kepadaku.
- Menyebabkan perpecahan dan perbedaan pendapat dan saling menyalahkan, karena lebih mengedepankan akal tanpa berpedoman pada ilmu dan pemahaman yang benar maka akan menimbulkan pendapat yang berbeda-beda sesuai dengan selera akal masing-masing. Keadaan seperti ini akan berujung pada perpecahan dan menimbulkan kelompok-kelompok, yang masing-masing kelompok itu memiliki pendapat yang berbeda dan menganggap kelompoknyalah yang benar. Akhirnya, perbuatan sesat menyesatkan pun tak terelakkan.
Saat kita mendapatkan ketidaksesuaian antara akal dan nash yang kita pelajari, maka kita harus kembali kepada nash yang shahîh dan sharîh serta mengintropeksi akal kita. Disamping itu, kita juga harus memahami otoritas dan kedudukan wahyu itu sendiri. Sikap yang kita ambil adalah mengambil jalan tengah yakni mempelajari nash dengan akal yang sehat yaitu akal yang tidak keluar dari jalur fitrah (naluri baik) dan berpedoman pada pemahaman salafus shalih serta merujuk pada pendapat Ulama yang mu’tabar. Bukan seperti paham Jabariyyah yang cenderung menerima nash apa adanya tanpa mempelajarinya, dan jangan pula seperti paham Qadariyyah yang lebih mengedepankan peran manusia dalam kehidupan atau bebas berfikir diatas segala-galanya.
Oleh karena itu, ilmu memiliki peran terpenting. Dengan kehendak dan tekad yang bulat untuk mempelajari ilmu agama secara terus menerus dan berkesinambungan. Sebagaimana menuntut ilmu adalah wajib hukumnya bagi setiap Muslim yang dipergunakan untuk memahami serta menyelesaikan masalah agama dengan mampu memahami maksud nash-nash yang diturunkan Allâh Azza wa Jalla tersebut secara benar. Seperti dalam firman Allâh Azza wa Jalla :
وَتِلْكَ الْاَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِۚ وَمَا يَعْقِلُهَآ اِلَّا الْعٰلِمُوْنَ
Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu. [al-Ankabût/29:43]
Serta Hadits Nabi tentang wajibnya menuntut ilmu:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : – قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Anas bin Malik Radhiyallahu anhu mengatakan, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘ Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim.” (HR. Ibnu Mâjah).[8]
Ilmu yang dimaksud disini tentu saja adalah ilmu agama, yang wajib dituntut setiap muslim.
Dan Allâh Azza wa Jalla memberikan ganjaran yang besar bagi penuntut ilmu syar’i yakni dalam firman-Nya :
يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ
Niscahaya Allâh akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu(agama) beberapa derajat [al-Mujâdilah/58:11]
Jadi dapat disimpulkan, hal yang harus dilakukan untuk mengatasi pertentangan akal dan nash, dengan menjadikan al-Qur’ân dan as-Sunnah sebagai pijakan awal dan tolok ukur terakhir dari pengambilan keputusan. Jika terdapat pertentangan antara akal dan nash, maka bersegeralah meninggalkan pemahaman akal dan mengambil nash sebagai pedoman, karena nash (yang shahîh dan sharîh) sudah pasti benar.
Sumber:
- al-Qur’ân al-Karâm dan terjemahannya.
- shahîh al-Bukhâri, cet. Dar thuqunnajah.
- Sunan Ibnu Mâjah cet. Darulfikar.
- Asâsut Taqdîs, karya Arrazi cet. Maktabah al-Kulliyât al- Azhariyah-Kairo-th:1986 M.
- Mukhtasar as-Shawâ‘iqil Mursalah karya Muhammad al-Mûshili, cet. Dar an-Napwah al-Jadidah. Th.1985 M.
- al-Intishâr li Ahlil Hadîts, Abu al-Muzhafar as-sam’ani, cet: Maktabah Adwa al-Manar, th.1996 M.
- Dar’u Ta’ârudhil Aqli wan Naqli, Ibnu Taimiyah, cet. Dar al-Adabiyah-Riyadh, th. 1391 H.
- as-Shawâ‘iqul Mursalah, cet. Dar al-Ashimah, th. 1998 M.
- al-Ittijâhât al-Aqlâniyah al-Hadîtsah, Nâshir bin Abdil Karîm, cet. Dar al-Fadilah, th. 2001 M.
- Majmû‘ Fatâwâ wal Maqâlât al-Mutanawwi’ah, Abdul Aziz bin Baz, cet. ar-Ri’asah Idarah al-Buhûts-Riyadh, th. 1421 H.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVI/1433H/2012M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1]Lihat al-Ittijâhât al-Aqlâniyah al-Hadîtsah, hlm. 28-32
[2] Asâsut Taqdîs, hlm. 220-221
[3] Dar’u Ta’ârudhil Aqli wan Naqli 1/83-84
[4] Majmû‘ Fatâwâ wal Maqâlât al-Mutanawwi’ah 1/266
[5] Mukhtashar as-Shawâ’iq, hlm. 82-83
[6] al-Intishâr li Ahlil Hadîts, hlm.. 44-45
[7] HR. al-Bukhâri (no. 106) dan Muslim(1)
[8] HR. Ibnu Mâjah(222)
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/71487-antara-akal-yang-sehat-dan-nash-yang-jelas.html